Air Asam Tambang

>> Kamis, 20 Mei 2010

Acid mine drainage – momok lahan bekas tambang
oleh: Enny Widyati
(Peneliti Biologi Tanah dan Kesuburan Lahan)

Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam industri batubara dan mineral dunia. Tahun 2005 Indonesia menduduki peringkat ke-2 sebagai negara pengekspor batubara uap. Untuk pertambangan mineral, Indonesia merupakan negara penghasil timah peringkat ke-2, tembaga peringkat ke-3, nikel peringkat ke-4, dan emas peringkat ke-8 dunia (www.minerals.usg.gov/minerals/pubs/commodity).
Namun demikian, pertambangan selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, yaitu sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sudah tidak diragukan lagi bahwa sektor ini menyokong pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, pertambangan terbuka (open pit mining) dapat merubah total iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang disingkirkan. Sedangkan untuk pertambangan bawah (underground mining) kerusakan lingkungan umumnya diakibatkan karena adanya limbah (tailing) yang dihasilkan pada proses pemurnian bijih. Baik tambang dalam maupun tambang terbuka menghasilkan air buangan bersifat asam yang disebut sebagai acid mine drainage/acid rock drainage (AMD/ARD). Menurut Wilkipedia AMD merujuk kepada air yang terdapat di kawasan pertambangan atau yang mengalir dari kawasan tersebut yang bersifat sangat masam (pH < 3).
Proses terbentuknya AMD
AMD terbentuk sebagai hasil oksidasi mineral sulfide tertentu (misalnya pirit, markasit, kalkopirit, dll) yang terkandung dalam batuan oleh oksigen di udara dalam lingkungan berair (Gautama, 2007). Oksidasi ini menghasilkan asam sulfat yang termasuk asam kuat dan melepaskan ion hidrogen, kedua senyawa inilah yang mengakibatkan meningkatnya kemasaman pada lingkungan tersebut. Reaksi oksidasi menurut Wilkipedia dapat diringkas:
2 FeS2 (s) + 7 O2 (g) + 2 H2O (l)  2 Fe++ (aq) + 4 SO4= (aq) + 4 H+ (aq)
Menurut Wilkipedia tempat-tempat yang berpotensi menghasilkan AMD adalah tanah yang tertinggal (di bawah deposit bahan galian), overburden pill (tumpukan lapisan batuan di atas deposit bahan galian), stock pill (tumpukan bahan galian), fasilitas pemurnian, tempat pencucian, limbah batubara, lumpur tailling.
Pada kawasan yang menerapkan penambangan terbuka, seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan galian disingkirkan sehingga lapisan tanah yang mengandung bahan organik menjadi hilang. Hilangnya bahan organik dan meningkatnya kemasaman lahan akan sangat menguntungkan bagi populasi bakteri pengoksidasi sulfur (BOS) seperti Thiobacillus spp dan Leptospirillum spp, karena bakteri ini merupakan bakteri yang suka asam (acidophillic) dan memerlukan sumber C dari bahan anorganik (chemo-litho-autotroph) (Wentzel, 2004). Aktivitas bakteri ini akan meningkatkan laju terjadinya AMD 500.000 – 1.000.000 kali lipat jika dibandingkan dengan laju AMD karena aktivitas geokimia (Evangelou and Chang, 1995 dalam Mills, 2004). Dengan demikian, sekali terjadi inisiasi AMD yang dikatalis BOS maka fenomena tersebut hampir-hampir unstoppable. Pemerintah USA dan Kanada memerlukan waktu ratusan tahun untuk mengatasi masalah AMD. Saat ini di Kalimantan, Sumatra, Papua dan Sulawesi fenomena tersebut mulai terjadi.

Menurut Untung (1993) proses terbentuknya AMD sangat dipengaruhi oleh karakteristik batuan, kondisi iklim lingkungan dan populasi BOS pada lingkungan tersebut. Gautama (2007) menyebutkan bahwa tambang di Indonesia 95% menerapkan sistem terbuka. Sehingga, sangat diperlukan pemahaman karakteristik hujan, batuan induk, potensi pengasaman biologis di masing-masing wilayah pertambangan.

Dampak lingkungan terbentuknya AMD
Reaksi AMD berdampak secara langsung terhadap kualitas tanah dan air karena pH menurun sangat tajam. Hasil penelitian Widyati (2006) pada lahan bekas tambang batubara PT. Bukit Asam Tbk. menunjukkan pH tanah mencapai 3,2 dan pH air berada pada kisaran 2,8. Menurunnya, pH tanah akan mengganggu keseimbangan unsur hara pada lahan tersebut, unsur hara makro menjadi tidak tersedia karena terikat oleh logam sedangkan unsur hara mikro kelarutannya meningkat (Tan, 1993). Menurut Hards and Higgins (2004) turunnya pH secara drastis akan meningkatkan kelarutan logam-logam berat pada lingkungan tersebut.
Dampak yang dirasakan akibat AMD tersebut bagi perusahaan adalah alat-alat yang terbuat dari besi atau baja menjadi sangat cepat terkorosi sehingga menyebabkan inefisiensi baik pada kegiatan pengadaan maupun pemeliharaan alat-alat berat. Terhadap makhluk hidup, AMD dapat mengganggu kehidupan flora dan fauna pada lahan bekas tambang maupun hidupan yang berada di sepanjang aliran sungai yang terkena dampak dari aktivitas pertambangan. Hal ini menyebabkan kegiatan revegetasi lahan bekas tambang menjadi sangat mahal dengan hasil yang kurang memuaskan. Disamping itu, kualitas air yang ada dapat mengganggu kesehatan manusia.
Bagaimana menanggulangi AMD
Sudah banyak teknologi yang ditujukan untuk menanggulangi AMD. Teknologi yang diterapkan baik yang berdasarkan prinsip kimia maupun biologi belum memberikan hasil yang dapat mengatasi AMD secara menyeluruh. Teknik yang didasarkan atas prinsip-prinsip kimia, misalnya pengapuran, meskipun memerlukan biaya yang mahal akan tetapi hasilnya hanya dapat meningkatkan pH dan bersifat sementara. Teknik pembuatan saluran anoksik (anoxic lime drain) yang menggabungkan antara prinsip fisika dan kimia juga sangat mahal dan hasilnya belum menggembirakan. Teknik bioremediasi dengan memanfaatkan bakteri pereduksi sulfat memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Hasil seleksi Widyati (2007) menunjukkan bahwa BPS dapat meningkatkan pH dari 2,8 menjadi 7,1 pada air asam tambang Galian Pit Timur dalam waktu 2 hari dan menurunkan Fe dan Mn dengan efisiensi > 80% dalam waktu 10 hari.
Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut dilakukan pada air sedangkan sumber-sumber yang menjadi pangkal terjadinya AMD belum tersentuh. Hal yang sangat penting sesungguhnya adalah upaya pencegahan terbentuknya AMD. Bagaimana mencegah kontak mineral sulfide dengan oksigen dan menghambat pertumbuhan BOS adalah hal yang paling menentukan dalam menangani AMD. Sebagai contoh PT. Bukit Asam Tbk menghambat kontak mineral-oksigen dengan melapisi lahan bekas tambang dengan blue clay setebal 1-2 m sehingga biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ini per hektar sungguh fantastis. Tetapi proses AMD secara geokimia jauh lebih lambat dibandingkan dengan proses yang dikatalis oleh BOS. Sehingga di PT. Bukit Asam masih terjadi AMD. Oleh karena itu, pengendalian BOS adalah kunci untuk mengatasi AMD. Bakteri ini tergolong kemo-ototrof, sehingga penambahan bahan organik akan membunuh mikrob tersebut. Bagaimana menyediakan bahan organik pada lahan yang begitu luas? Penanaman lahan yang baik adalah jawaban yang tepat. Bagaimana melakukan penanaman pada lahan yang begitu berat? Jawaban yang tepat juga penambahan bahan organik. Sebab bahan organik dapat berperan sebagai buffer sehingga dapat meningkatkan pH, sebagai sumber unsur hara, dapat meningkatkan water holding capacity, meningkatkan KTK dan dapat mengkelat logam-logam (Stevenson, 1997) yang banyak terdapat pada lahan bekas tambang. Revegetasi pada lahan bekas tambang yang berhasil dengan baik akan memasok bahan organik ke dalam tanah baik melalui produksi serasah maupun eksudat akar.
Penutup
Sektor pertambangan masih dapat diandalkan sebagai tulang punggung pembangunan di Indonesia untuk beberapa masa mendatang. Tantangan yang dihadapi Indonesia adalah bagaimana mewujudkan praktek penambangan yang baik (good mining practices/GMP) yang meminimalisir dampak lingkungan, sehingga seluruh rakyat Indonesia dapat menikmati kemakmuran karena sektor pertambangan tanpa takut kiamat dipercepat akibat keserakahan kita menguras perut bumi.

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP